Seorang
balita tampak memperhatikan ibunya yang masih sibuk di dapur. Tangannya begitu
cekatan mempermainkan alat-alat dapur untuk disusun rapi. Sesekali, sang ibu
kembali sibuk mengaduk-aduk masakan yang berada tak jauh dari tempatnya
berdiri.
Sang balita
tak tahu persis, sejak kapan bunda tercintanya itu terbangun dari tidur. Yang
ia tahu, ketika terbangun, ibunya sudah mondar-mandir di dapur. Padahal, baru
tiga jam yang lalu, ia masih ingat betul bagaimana ibunya telah direpotkan
dengan ompol dan buang air besar sang adik di TKP, alias tempat tidur.
“Mbok Iyem
masih di kampung, ya, Ma?” ucap sang balita ke ibunya.
Sang ibu
hanya menoleh dengan senyum, kemudian mengangguk pelan. “Kamu kangen, ya?” ucap
sang ibu agak membungkuk.
“Aku cuma
heran, Ma. Kok, kerja Mama sama Mbok Iyem beda sih?” tanya sang balita serius.
“Iya beda,
sayang. Mbok Iyem kerja di sini karena ada gaji dan kewajiban mengurus rumah
kita,” ucap sang ibu singkat.
“Kalau Mama,
karena apa?” tanya sang balita lagi.
”Cinta!”
jawab sang ibu sambil mengecup pipi balitanya.
Dalam
tafsiran yang lebih khusus, tidak sedikit dari kita yang ’berkerja’ dalam
ibadah kepada Yang Maha Pencipta, Pemberi rezeki, dan Penguasa alam raya; hanya
sebatas pada kewajiban seorang hamba kepada Khaliqnya. Di situlah ada harapan
mendapatkan balasan berupa gaji yang bernama pahala.
Walaupun
masih tergolong wajar, tapi itu akan menggiring sang hamba pada hitung-hitungan
antara kewajiban dan pahala. Seolah, kepuasan dari menunaikan kewajiban adalah
berlimpahnya pahala. Persis seperti seorang pembantu yang rajin dan malasnya
sangat bergantung pada gaji dari majikan.
Tidakkah
sang hamba menekuri lebih dalam bahwa nilai surga yang dijanjikan tidak akan
sebanding dengan seberapa pun banyaknya pahala seseorang. Yang Maha Sayang
semata-mata memasukkan hambaNya ke surga karena limpahan cintaNya kepada
hamba-hambaNya yang juga beramal karena cinta. Persis seperti seorang ibu yang
melakoni lautan kewajiban dengan samudera cinta.
Issued by : Muh Yusron Surahman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar